Copy, cut and paste disabled


top of page

Transforming Food Systems: Youth Innovation for Human and Planetary Health

International Youth Day (IYD) atau Hari Pemuda Internasional merupakan perayaan tahunan yang diperingati setiap tanggal 12 Agustus di seluruh dunia. IYD dicetuskan pada Conference of Ministers Responsible for Youth di Lisbon, Portugal, pada tahun 1998, dan mulai diperingati sejak tahun 2000. Lahirnya IYD dilatarbelakangi oleh keinginan negara-negara di dunia untuk memperingati peran pemuda (laki-laki dan perempuan) dalam memberikan dampak positif bagi dunia. Perayaan ini didedikasikan bagi pemuda pemudi di seluruh dunia untuk mengangkat isu-isu pemuda menjadi perhatian dunia internasional serta meningkatkan keterlibatan dan kontribusi pemuda sebagai mitra warga dunia. Dalam upaya mewujudkan hal ini, setiap tahunnya IYD mengangkat tema yang beragam dan selaras dengan perkembangan dunia terkini.


Tahun ini, IYD mengangkat tema “Transforming Food Systems: Youth Innovation for Human and Planetary Health” (Transformasi Sistem Pangan: Inovasi Pemuda untuk Kesehatan Manusia dan Bumi). Tema ini didasari visi dunia untuk mewujudkan kesehatan masyarakat dunia dan kelestarian lingkungan di sekitarnya secara universal dan merata. Namun, aktualisasi visi tersebut terhambat oleh wabah COVID-19 di seluruh dunia. Pandemi COVID-19 berdampak masif pada seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk ancaman kesehatan dan gizi, disfungsi sosial, gangguan stabilitas politik, hingga perlambatan pertumbuhan ekonomi. Dalam aspek ekonomi, pandemi COVID-19 menimbulkan krisis ekonomi global hingga berdampak pada pemenuhan kebutuhan masyarakat, khususnya dalam sektor pangan.


Pandemi ini menunjukkan bahwa sistem pangan dunia sangat rentan mengalami krisis. Krisis ini disebabkan penurunan pasokan pangan, gangguan akses masyarakat terhadap pangan yang berkualitas dan terjangkau, penurunan jumlah tenaga kerja di sektor pangan, serta perubahan penggunaan lahan. Gangguan dalam rantai pasokan pangan dan limitasi pasar menimbulkan beban ketahanan pangan di seluruh dunia serta memperparah kondisi pangan di negara-negara yang sebelumnya rentan terhadap krisis pangan dan kelaparan.


Tidak hanya pandemi COVID-19, ketersediaan pangan dunia saat ini juga semakin memburuk akibat perubahan iklim global secara signifikan. Fenomena ini nyata terlihat dari peningkatan suhu rata-rata bumi antara tahun 1906–2005 sebesar 0.74°C– 0.18°C hingga mengakibatkan perubahan iklim di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia (IPCC, 2007). Selain itu, data Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun (1998–2008), telah terjadi peningkatan peluang curah hujan ekstrem di sebagian wilayah Indonesia, kecuali beberapa wilayah di Maluku. Tak hanya mengancam kesehatan manusia, perubahan iklim ini juga berdampak luas pada hewan, tumbuhan, dan lingkungan di sekitarnya. Fenomena ini meningkatkan risiko terjadinya kekurangan air, kepunahan spesies, gagal panen, hingga kelaparan. Dalam sektor pangan, perubahan iklim berdampak masif pada ketersediaan pangan, kuantitas dan kualitas hasil panen, serta keanekaragaman hayati, khususnya untuk negara-negara yang bergantung pada sektor pertanian. Perubahan iklim ini tidak hanya menurunkan ketersediaan pangan dalam proses produksi, tetapi juga menghambat akses dan permintaan pasar akibat penurunan pendapatan pekerja di sektor pertanian.



Ketika permasalahan akibat perubahan iklim berlangsung bersamaan dengan krisis ekonomi global akibat pandemi COVID-19, ketersediaan dan akses pangan semakin rentan mengalami gangguan. Hal ini dibuktikan dari tingkat kelaparan dan kekurangan gizi dunia yang memburuk secara dramatis saat ini. Berdasarkan data dari sejumlah badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), jumlah orang yang mengalami kelaparan di tahun 2020 bertambah 118 juta lebih banyak dibandingkan tahun 2019. Lebih lanjut, angka kurang gizi dan stunting juga mengalami peningkatan. Terdapat 768 juta orang di seluruh dunia menderita kekurangan gizi, di mana 418 juta orang terdapat di Asia, 282 juta orang di Afrika, dan 60 juta orang di Amerika Latin dan Karibia. Kemudian, sekitar 149 juta balita diperkirakan mengalami stunting (pendek), serta lebih dari 45 juta anak mengalami wasting (kurus). Kondisi kurang gizi dan stunting memengaruhi perkembangan otak hingga menimbulkan dampak jangka panjang, seperti keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, dan risiko penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas (Kemenkes, 2018).



Ancaman ini mengindikasikan bahwa transformasi sistem pangan juga sangat diperlukan dalam 1000 hari pertama kehidupan (HPK), termasuk perlindungan, promosi, dan dukungan untuk menyusui sebagai sistem pangan pertama dan fondasi utama manusia yang berkualitas. ASI merupakan sumber nutrisi awal kehidupan yang memberikan nutrisi optimal serta mengandung antibodi untuk meningkatkan kekebalan tubuh anak. Selain itu, perlu diperhatikan aspek perlindungan gizi seimbang bayi dan balita dari agresifnya pemasaran produk pengganti ASI serta produk makanan tinggi gula, garam, lemak (GGL) yang mengancam kesehatan dan gizi lintas generasi.


Gangguan ketahanan pangan akibat pandemi COVID-19 dan perubahan iklim global tentunya membutuhkan solusi yang transformatif dan tepat sasaran untuk diterapkan dalam jangka panjang. Tanpa tindakan yang tepat, penurunan ketersediaan pangan dunia berpotensi memburuk dan mengancam kehidupan manusia. Oleh karena itu, IYD 2021 menjadi platform bagi pemuda untuk mengambil peran dalam mendukung berbagai upaya global untuk memulihkan dan melindungi kehidupan di bumi, khususnya dengan mengintegrasikan keanekaragaman hayati dalam transformasi sistem pangan termasuk untuk periode 1000 HPK. Upaya untuk mentransformasi sistem pangan ini membutuhkan pendekatan menyeluruh dalam berbagai aspek, dengan mempertimbangkan perubahan iklim, ketahanan pangan, keanekaragaman hayati, serta perilaku kesehatan dan gizi. Dalam hal ini, pemuda diharapkan berperan aktif sebagai agent of change dalam pembangunan yang berkelanjutan untuk mewujudkan dunia yang lebih baik.


Dengan kapasitas dan potensi yang dimiliki, pemuda dapat menginisiasi kegiatan atau aktivitas yang bertujuan untuk menciptakan ketahanan pangan. Intervensi yang diberikan dapat berupa edukasi kepada masyarakat mengenai ketahanan pangan dalam masa pandemi, mitigasi krisis pangan, konsumsi gizi seimbang, pola dan perilaku hidup sehat, serta pelestarian lingkungan. Pemuda juga dapat melakukan kampanye perubahan iklim, ketahanan pangan dengan bahan makanan lokal alami, gizi seimbang untuk 1000 HPK dan remaja, dan kesehatan lingkungan melalui media sosial. Kampanye ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap ketahanan pangan, mengubah cara pandang dan pola pikir masyarakat terhadap permasalahan lingkungan, serta mengajak masyarakat untuk peduli dan turut berpartisipasi dalam mencari solusi yang tepat terhadap isu perubahan iklim dan ketahanan pangan.


Kaum muda juga dapat berpartisipasi sebagai aktivis dalam berbagai kegiatan relawan untuk memulai aksi nyata secara kolektif dalam mewujudkan perilaku masyarakat yang peduli lingkungan demi tercapainya kesehatan bumi dan peradaban manusia. Kegiatan ini juga dapat menjadi wadah bagi kaum muda untuk mengenal secara langsung permasalahan yang terjadi di masyarakat serta turut berkontribusi dalam upaya penyelesaian masalah tersebut. Pemuda juga dapat menggalang donasi untuk masyarakat yang belum memiliki akses terhadap pangan yang aman, berkualitas, dan terjangkau. Tak hanya itu, kaum muda juga dapat berperan dalam upaya advokasi yang bertujuan untuk mengakomodasi suara masyarakat berbagai pelosok di Indonesia, untuk mendapatkan dukungan dan bantuan dari pemerintah, lembaga masyarakat, atau badan lainnya. Langkah advokasi ini diharapkan dapat menyejahterakan pekerja di sektor pangan, meningkatkan kualitas pangan, dan mewujudkan pemerataan akses pangan bagi seluruh masyarakat.


Partisipasi aktif pemuda memiliki makna penting dalam pembangunan berkelanjutan. Inovasi pemuda membangun optimisme akan dunia yang lebih baik. Setiap kolaborasi yang tercipta niscaya berdampak luas bagi dunia. Saatnya bagi pemuda untuk menunjukkan potensi terbaik di dalam dirinya. Teruslah berkarya dan menginspirasi dunia!


"Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia." – Ir. Soekarno


Reference

  1. Baker, P., Santos, T., Neves, P. A., Machado, P., Smith, J., Piwoz., E., Barros, A. J. D., Victora, C. G., McCoy, David. (2020). First-food systems transformations and the ultra-processing of infant and young child diets: The determinants, dynamics and consequences of the global rise in commercial milk formula consumption. Retrieved from https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/mcn.13097

  2. United Nations, Food and Agriculture Organization of United Nations, & United Nations Major Group for Children and Youth. (2021). International Youth Day 2021: Transforming Food Systems: Youth Innovation for Human and Planetary Health. Retrieved from https://www.un.org/development/desa/youth/wp-content/ uploads/sites/21/2021/05/IYD-Concept-Note-2021-for-website-v3.pdf

  3. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2013). Retrieved from http://pusriskel.litbang.kkp.go.id/index.php/en/publikasi/artikel?download=472%3Aperubahan-iklim-dan-dampaknya-di-indonesia

  4. Ewing-Chow, D. (2021). Unleashing The Power Of The Youth In Food Systems Change. Retrieved from https://www.forbes.com/sites/daphneewingchow/2021/06/ 30/unleashing-the-power-of-the-youth-in-food-systems-change/?sh=55fed18049c0

  5. Food and Agriculture Organization of United Nations. (2020). The dual threat of extreme weather and the COVID-19 crisis: Anticipating the impacts on food availability. Retrieved from http://www.fao.org/3/cb0206en/CB0206EN.pdf


Created by:

Immanuella Stephanie Putri Simanullang - MCA Team CIMSA 2021-2022

Reviewed by:

dr. Wahdini Hakim, MWH – Pemerhati dan Pakar Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir

Designed by:

dr. Dhiya Khoirunnisa





Opmerkingen


bottom of page